Rabu, 04 Januari 2023

Budaya Literasi Dan Penyalahgunaan Politik Identitas Pemilu 2024

SAMUEL Huntington mengatakan bahwa awal abad 21 adalah babak baru dari perbenturan peradaban, The Clash of Civilization, tema yang kemudian menjadi judul bukunya.

Menurut dia, fenomena Perbenturan Peradaban ini dengan mengurainya dalam beberapa ideologi besar di dunia ini: Peradaban Barat, Amerika Latin, Ortodox, Dunia Timur, Dunia Islam, Peradaban Afrika Sub-Sahara, dan beberapa jenis “Peradaban” dan “Dunia” menurut kategorisasi yang dibuat Huntington.

Sehingga menurut dia, abad 21 akan memunculkan kembali kebanggaan hingga fanatisme beridentitas dalam politik.

Tragedi Wall Trade Center, 11 September 2001, merupakan penghinaan dan penghancuran terhadap “identitas Amerika”, yang untuk memulihkannya kembali dilakukan dengan jalan aksi kemiliteran atau perang, dengan musuh bebuyutannya, yakni Irak.

Jika dianalisa, hal ini membawa kembali ingatan pada wacana konflik peradaban dari seorang intelektual bernama Samuel Huntington (1996:2000), yang menciptakan masing-masing peradaban, yang mana mereka merasa eksistensi identitasnya ditantang untuk berkonflik dengan jalur politik identitas.

Masih menurut Hantington (2000), identitas-identitas yang sebelumnya memiliki keserberagaman dan hubungan kausal menjadi terfokus dan mapan, konflik-konflik komunal biasanya disebut perang identitas.

Memang teori Samuel Huntington tersebut telah menjadi gelombang dan momok yang nyata kebangkitan politik identitas.

Sebut saja, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, yang memenangkan pemilu dengan mengandalkan sentiment ras dan pribumi.

Jair Bolsonaro, politikus sayap kanan Brasil yang memenangkan pemilu, Rodrigo Duterte yang kerap menyatakan pendapat-pendapat kontroversial dan keresahan berhasil menang dalam pemilu Filiphina. 

Kemudian Giuseppe Conte (Five stars), gerakan populisme yang meraih kemenangan pemilu Italia, 2018 lalu. Namun demikian, kemenangan yang diraih oleh beberapa politisi yang disebut di atas, tidak terlepas dari politik identitas, populisme yang fanatik, hoax yang masif, fitnah, menebar ketakutan, pesimisme, saling memaki, menebar kebencian dan lain-lain.

Hal ini tentu mirip dengan strategi yang dijalankan oleh kubu Prabowo-Sandi di Pemilu 2019 lalu.

Namun demikian, menarik untuk diperhatikan mengapa politik identitas dalam Pemilu/Pilpres 2019 tidak berpengaruh atau berkorelasi dengan peningkatan elektabilitas pasangan Capres-Cawappres Prabowo-Sandi saat itu.

Ada beberapa poin yang dapat dianalisa dan diungkapkan, mengapa strategi tersebut tidak berhasil dalam kontestasi demokrasi di Indonesia, bahkan dapat disebut gagal total. Berikut ini poin-poin penjabarannya: 

    Pertama, karena Indonesia memiliki social capital yang luar biasa. Berbeda dengan negara-negara lain. Modal sosial itu antara lain adalah banyaknya ormas-ormas keagamaan yang memiliki basis massa dan selalu mengkampanyekan pentingnya rasa persatuan.

Sebut saja Ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU dengan jumlah warganya 91,2 juta jiwa telah mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Jargon hubbul wathon minal iman (nasionalisme bagian dari iman), adalah di antara kuncinya.
    
    Kedua, karena ikatan dan rasa kebangsaan di kita cukup kuat sehingga identitas asal atau primodial seperti agama, suku, ras dan golongan tidak laku sebagai “jualan” dalam politik electoral.
   
    Ketiga, politik identitas di seluruh dunia ada dan tidak akan bisa hilang, tapi lama kelamaan perannya menurun pada tataran kuantitas karena kedewasaan dan kematangan berdemokrasi di tiap negara, inklusifisme antargolongan terus meingkat, melumerkan blok-blok budaya antargolongan.
    
    Keempat, narasi politik identitas yang dilontarkan pada pemilu 2019 lalu, cepat dilawan oleh kubu Jokowi dengan menjalankan strategi kontra-black campaign. Sehingga pembicaraan di ruang publik mengenai politik identitas dengan cepat diredam, walau masih saja ada suara-suara lantang yang mendukung membabi buta narasi politik identitas.
    
    Kelima, saat pemilu 2019, penggunaan isu agama sebagai alat untuk meraih dukungan kelompok Islam, melalui Ijtima Ulama II, telah terdegradasi sendiri, di samping terjadi perpecahan.

Ulama-ulama yang menunjuk Prabowo-Sandi sebagai wakilnya dalam setiap penyampaian dukungan kepada Prabowo-Sandi, selalu dengan ucapan kebencian, kemarahan, kedengkian, sehingga hal ini membuat masyarakat menjadi takut dan resah. Dan dapat dibilang dukungan ulama-ulama, khususnya yang berlaga keras malah merugikan Prabowo-Sandi dalam menggaet suara pemilih, alias menjadi blunder politik.

    Keenam, adalah peran pemerintah sendiri yang saat ini responsif terhadap gejala-gejala yang mengarah kepada isu-isu politik identitas, penyebaran hoax, fitnah, dan lain-lain.

Peran Jokowi bersama K.H Ma’ruf Amin dan timnya, cukup signifikan dalam meredam dan membloking meluasnya politik identitas saat itu. Sehubungan dengan itu, apakah politik identitas di Pemilu 2024 masih menjadi isu-isu primadona? 

Terlebih saat ini penyebaran isu-isu politik identitas yang bersifat destruktif begitu cepat menyebar sulit sekali dibendung karena kemajuan teknologi, khususnya perkembangan pesat internet atau dunia maya sebagai ruang publik dan tidak mampu menjadi sekat-sekat batas atau filter sosial-politik yang dikonsumsi mentah-mentah oleh masyarakat.

Bila dicermati dalam perkembangannya masyarakat kita sedikitnya sudah dua kali mengalami loncatan budaya (culture sock).

Pertama, dari budaya tradisional melompat ke audio visual, dari budaya audio visual yang kemudian sudah melompat lagi ke era kemajuan internet dan media sosial (medsos). Artinya bangsa kita melewati fase membaca.
Sehingga dalam hal ini masyarakat dalam mencerna isu-isu di medsos mudah sekali terprovokasi karena tidak memiliki wawasan dan pengetahuan yang cukup tentang asal-usul informasi atau sumber literasi isu yang akurat dan memadai.

Untuk itu dalam menghadapi persoalan-persoalan di pemilu atau pilpres tahun 2024, harus senantiasa mencari jalan agar lompatan budaya yang sudah terjadi menjadi percepatan yang positif.

Salah satunya harus dipersiapkan suatu strategi politik dengan melibatkan semua pihak, yakni mengubah loncatan budaya menjadi modal baru, yaitu dengan membangun budaya literasi, dalam artian: membangun kemampuan mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.

Dengan demikian, setidaknya dapat sedikit menyumbang pencegahan secara politik penyalahgunaan politik identitas yang memiliki dampak destruktif dalam pemilu atau pilpres 2024 mendatang.


Sumber : https://nasional.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
close
Peduli dan Berbagi