Selasa, 10 Januari 2023

Sistem Tertutup Dinilai Akan Kokohkan Oligarki Dan Hegemoni Politik



JAKARTA - Upaya pengembalian sistem proporsional tertutup dalam pemilihan umum (Pemilu) dinilai akan mengokohkan oligarki dan hegemoni politik di Tanah Air.

Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) Ahmad Khoirul Umam menyebut menguatnya oligarki dan hegemoni politik bisa terjadi.

Terlebih, salah satu alasan upaya pengembalian sistem proporsional tertutup karena praktik buruk politik uang dalam sistem proporsional terbuka.

"Jika praktik money politics menjadi concern utama pengembalian sistem proporsional tertutup, maka sistem itu justru akan mengokohkan kooptasi oligarki dan hegemoni politik yang akan membuat demokrasi tidak lagi relevan di Indonesia," kata Umam, Senin (9/1/2023).

Adapun yang dimaksud sistem proporsional tertutup, yakni partai politik (parpol) mengajukan daftar calon legislatif (caleg) yang disusun berdasarkan nomor urut.

Nantinya, nomor urut ditentukan oleh parpol. Melalui sistem proporsional tertutup, setiap parpol memberikan daftar kandidat dengan jumlah yang lebih dibandingkan jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan (Dapil).

Dalam proses pemungutan suara dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih parpol, bukan calon wakilnya di parlemen.

Umam menilai, sistem proporsional tertutup bisa menguntungkan, membunuh dan menggerus parpol tertentu.

Sebab, sistem proporsional tertutup dianggap dapat menciptakan sistem kekuasaan yang semakin sentralistik dan mudah dikooptasi oleh elite parpol tertentu.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan, sistem ini memaksa caleg-caleg dengan logistik dan jaringan kuat untuk masuk ke parpol yang sentralistik dan memiliki party-identification (party-ID) yang kuat.

Party-ID merupakan derajat kedekatan warga dengan partai yang diyakininya untuk dipilih saat pemilu dilaksanakan.

Umam menyebut pemberlakuan sistem proporsional tertutup akan menguntungkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) selaku partai pemilik party-ID yang lebih besar.

Di sisi lain, sistem proporsional tertutup berpeluang membuat kekuatan Golkar paling tergerus signifikan karena banyaknya varian kekuatan politik di dalamnya.

"Di saat yang sama, sistem proporsional tertutup ini berpeluang membunuh PAN dan PPP karena terbatasnya party-ID dan tokoh kharismatik di dalamnya," terang Umam. Umam juga mengatakan, sistem proporsional tertutup berpeluang semakin menguatkan stream politics atau praktik politik aliran yang selama ini kian mencair di era pasca-reformasi.

Menurutnya, menguatnya politik aliran ini akan membuat politik nasional semakin terpolarisasi. Jika itu terjadi, praktik hoaks, hate speech atau ujaran kebencian dan character assasination atau upaya pembunuhan karakter terhadap lawan politik akan dianggap sebagai alat paling efektif untuk mengonsolidasikan sentimen dukungan elektoral parpol.

"Sebenarnya, pemberlakuan sistem proporsional terbuka merupakan langkah modernisasi sistem kepartaian. Esensinya, rakyat harus paham siapa wakilnya. Sehingga wakil rakyat benar-benar representatif dan bisa dievaluasi oleh pemilihnya," imbuh dia.

Sebagaimana diketahui, bergulirnya isu sistem proporsional tertutup agar diterapkan pada Pemilu 2024 bermula dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK.

Gugatan ini telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.

Keenam penggugat, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).

Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Dari gugatan ini pula, para pemohon meminta MK mengganti sistem proporsional terbuka yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan telah menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang.

Untuk itu, para pemohon menginginkan MK dapat mengganti sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.

Lantas, delapan parpol menolak sistem proporsional tertutup. Mereka yakni Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyatakan, sistem proporsional terbuka yang telah dijalankan sejak Pemilu 2004 merupakan salah satu wujud demokrasi Indonesia.

“Di mana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik, kami tidak ingin demokrasi mundur!” tegas Airlangga saat menyampaikan sikap penolakan bersama beberapa parpol lain di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Jakarta, Minggu (8/1/2023).

Sementara itu, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut wacana penggantian sistem proporsional terbuka ke tertutup tak ubahnya seperti membeli kucing dalam karung.

Menurutnya, sistem proporsional tertutup justru akan merampas hak rakyat dalam memilih calon anggota legislatif. Sebab, pemilih hanya bisa mencoblos parpol dan tak bisa memilih calon anggota legislatif yang akan duduk di parlemen.

"Jangan sampai ada hak rakyat dalam demokrasi ini yang dirampas," ujar AHY di tempat yang sama. "Jika terjadi sistem pemilu tertutup, maka rakyat tidak bisa memilih secara langsung wakil-wakil rakyatnya. Padahal kita ingin semua menggunakan haknya dan tidak seperti membeli kucing dalam karung," tegas AHY.


Sumber : https://nasional.kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
close
Peduli dan Berbagi